Sunday, March 25, 2012

pesawat-pesawat kertas


Pesawat-pesawat Kertas
“Daaaaaakk..!” potongan rotan sepanjang hasta menumbuk meja panjang di sudut ruangan.
“Kamu tau salah kamu apa?” bukan hanya bertanya, ustad bagian Kedisiplinan Santri angkat suara.
Afwan1 Us, Saya hanya diminta ke kantor setelah istirahat siang, ana2 tidak merasa bersalah.”
Mendengar jawaban Janggan yang begitu enteng, bagi ustad dengan julukan “cubitan maut”, ini adalah tabuhan genderang perang.
“Astaghfirullah!, lihatlah, halaman sekolah penuh dengan pesawat-pesawatanmu!. Satu, kamu mubadzir kertas. Dua, merusak keindahan dan kebersihan. Tiga kamu bahkan belum membayar SPP-mu tiga bulan terakhir!” kata-katanya mulai kering dan cepat, tanda kesabarannya mulai habis.
 Afwan Us, Satu, kertas yang ana pakai sudah kertas yang bahkan sudah tidak ada ruang untuk mencoret-coret rumus dan hitungan ana disana. Dua, buat apa petugas kebersihan kita dipekerjakan, dan tiga...”
“Braaaaak!” meja di sudut ruangan kembali bergetar, kali ini lebih keras.
“Apa maumu waladii3!?”  terlihat sekali ia menahannya, sadar santri yang satu ini ujian baginya.
“Dan tiga, kenapa masalah SPP antum4 ungkit Us?, insyallah sampai kasur kapuk nenek laku Us, ana akan mencicilnya.” Janggan masih berusaha melanjutkan.
Ustad, menghela nafas, ujian kesabaran kali ini tampaknya begitu berat, tidak ada bahkan satu pun dalam dua dasawarsa selama ia mengabdikan dirinya di pesanten ini yang berani berkata sejauh ini padanya. Keterlaluan.
“Pilih hukumanmu waladii!” cukup demokratis dalam kemarahannya di siang itu.
Betapapun demokratisnya ustad, pilihannya hanya dua, cubitan mautnya yang mungkin bekas kehitaman di dada baru hilang empat-lima hari setelahnya, dan inilah yang disebut neraka jahanam dalam tiga-empat detik saja, dan siksa kubur setelahnya, atau rotan panas yang akan mendarat di betis entah dengan gaya dan kecepatan yang masih misteri bagi kami, yang kurang lebih rasanya akan sejenis dengan cobaan diatas.
Bagi kami sebuah tindakan demokratis itu adalah penganiayaan batin, sadis dalam bingkai demokratis.
Ana akan lari keliling lapangan lima putaran Us.” Pilihan cerdas!.
“Tidak perlu jauh-jauh, keliling lapangan basket saja”
“Dengan jalan jongkok!.”
Tidak ada pilihan lain, dan tak ada tawaran lain.
***
Matahari mulai tergelincir menjemput senja, semilir angin laut pantai selatan berhembus tipis, menguapkan aroma garam yang kian tajam setelah empat jam lalu gerimis mencelup kota tua ini, puluhan pesawat-pesawat kertas ditanah diterbangkan punggung angin senja itu, membelah halaman sekolah yang kian kering disapu debu musim kemarau, suara daun kering yang diinjak menemani satu putaran terakhir cobaannya, Janggan hanya bisa nerimo5, kosa kata yang terdengar begitu menyedihkan terkadang, membuat perdebatan yang lebih panjang dengan ustad hanya akan memperparah cobaannya kali ini.
Udara begitu kering, gerimis barusan bahkan sudah tak ada bekasnya. Beginilah cuaca belakangan ini, tak pernah berdamai untuk kiranya dapat diprediksi apa yang kan direncanaknnya.
“Teng-teng-teng.. “ silinder besi yang bergetar memekikkan suara basah nan indah di tengan musim kemarau yang kami sebut bel sekolah membujuk ustad-ustad pengajar untuk menghentikan pelajaran dan pulang. Santri-santri mulai berkemas untuk kembali ke asrama masing-masing, pesantren yang berkubang ditengah hiruk kota tua ini selalu terlihat aneh bersanding dengan kemajuan-kemajuan yang ada. Terkesan tradisionil namun tegas membelah arus.
Di kota tua ini, semua bangunan tua mulai menguning dicampakkan usia, membisikkan aroma tertentu yang kami sebut istimewa. Di lantai kedua gedung peninggalan Belanda, ustad “Cubitan Maut” masih melempar pandangan pada Janggan yang baru saja menyelesaian putaran terakhir. Kweek School, sekolah tua. Ya, tua sekali. Semua santri dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul dengan niat masing-masing, ada yang dipaksa orang tua, kemauan sendiri atau sedikit yang seperti Janggan, diundang untuk bersekolah. Bahkan ia belum sempat memilih niatnya.
Janggan hanya berjalan berteman bayangnya sendiri, sudah terlalu sore dari jam sekolah biasanya. Membelah bisingnya kendaraan yang menunggu lampu hijau, menyebrangi perempatan dan segera belok kiri dan menusuri gang-gang sempit kota tua ini. Jangankan tekanan dari cobaan barusan, sepanjang jalan, Ia hanya memandangi puluhan tumpukan pesawat-pesawat kertas dengan berbagai model yang ia harus pungut dari halaman sekolah, tentu saja, tidak pernah ada yang memerintahnya. Janggan berkali-kali mengamatinya, yang ada dalam benaknya hanya bagaimana mungkin pesawat ini bisa terbang, bagaimana mungkin pesawat asli dengan berat berton-ton, dinaiki ratusan penumpang bisa mengudara. Bagaimana mungkin hukum Bernoulli6 dapat diterapkan, kenapa tekanan bawah sayap ada hubungannya dengan kecepatan angin, dapat mengangkat berat pesawat.  Semuanya hanya berhenti pada penjelasan perpustakaan sekolah yang sempit itu. Toh, ia tak pernah merasa puas.
Pesawat-pesawat kertas di tangan rencananya akan menjadi eksperimen asyik selanjutnya, lantai tiga asramanya sudah sangat cukup untuk menerbangkannya kebawah. Mungkin beberapa tekanan dan cobaan dari ustadnya sedikit menghambatnya, namun rasa ingin tahunya melebihi apapun, meletup-letup menekan segala penjuru beranda otaknya.
Tidak perlu ada paksaan sama sekali untuk menyukai bidang ini, hanya ingin taunya yang tak terbatas, yang ia temui malah tekanan dari luar. Ya, bahkan ia tak pernah tau kalau pendidikan di negaranya “memaksa” anak-anak sepertinya mempelajari sekian banyak pelajaran dengan materi yang luas dan abstrak, tak pernah sesuai dengan kebutuhan anak-anak seumurannya. Yang ia tahu hanyalah, ada banyak pelajaran: Tahfidz7, Ilmu Hisab, Geografi, Sejarah, dan ia harus mendapat nilai baik disemua pelajaran. Naik kelas lalu lulus UN. Selesai.
Langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah nasrani yang tak begitu jauh dari bibir jalan raya, ia ingat ada komputer yang terhubung dengan internet di serambi depan kelas-kelas yang membujur melingkari halaman, sekedar mampir dan mencari informasi tidak akan dipungut biaya, tentu saja ia segera meminta izin Satpam dan mencari jawaban pertanyaan yang setiap malam mengganggu tidurnya.
Senja sudah betul-betul keemasan, nalurinya mengajak segera kembali ke asrama, mungkin teman-temannya sudah sibuk berpatut dengan baju koko putih menenteng Al-Qur’an di dadanya, atau sebagian masih berada di depan kamar mandi yang berbaris begitu rapi, gayung yang mengular menandakan antrian santri yang belum mendapat giliran mandi. Sebelumnya, santri-santri dalam satu kamar mandi akan membuka suatu acara semacam arisan untuk menentukan antrian mandi dari yang pertama hingga terakhir, dapat dipastikan Janggan tak mengambil giliran mengocok, jadilah nomor terakhir yang akan ia dapat. Sembilan!. Mungkin baru selepas Maghrib ia akan mendapat giliran, dengan air di bak sudah menyentuh dasar bak kamar mandi.
Wahid,...... isnain,.....tsalasa8...” corong TOA menggema di sudut-sudut senja. Bukan bagian dari pelajaran berhitung dalam bahasa arab, ini adalah “ancaman” untuk segera bergegas menuju masjid yang dikelilingi los kamar-kamar asrama. Santri berlarian sana-sini, yang masih wuhdlu segera belepotan dengan kegelisahan, tak terkecuali Janggan, tak ada trik lain untuk mandi secara instan, hanya terkadang ustad yang baik padanya mengizinkan ia mandi di kamar mandi pribadi ustad. Tapi sore ini tidak, kamar mandi itu terkunci dari dalam.  
“’...Tis’ah.....wal akhir... asarah9...!” Janggan sudah melewati pintu masuk tepat ada hitungan terakhir.
“E.. e.. e...” terlambat, sepertinya ada tarikan pada baju kokonya dari belakang.
Ana tidak telat akhil kabir10.. “
Tujuh orang mujannib11 yang ia sudah pasti hafal siapa saja, bisa dipastikan menebar pandangan mengancam. Ya, selalu ada konsekuensi dari aturan kedisiplinan yang kita langgar. Termasuk sebelumnya di sekolah, kalaupun ia merasa berat dengan undang-undang tak tertulis ini, toh pondok tak pernah memaksa ia tetap tinggal, justru hal inilah yang menjadi ganjalan hatinya untuk berontak. Pergi kemana?, sekolah dimana lagi?. Tak ada jawaban kecuali kosong.
“Iya, mana mushaf antum?” Sumarito, salah satu dari mereka yang paling tegas dengan tatapannya.
“Ini akh.” Janggan menunjuk saku.
“Kenapa antum tidak pakai sarung!?”  
 Janggan baru sadar ketika hanya celana panjang seragam sekolah tadi yang ia lihat.
“Tidak, masyaAllah, terburu-buru ini menghancurkan segalanya, berbuah buruk. pastilah sajadah terlipat mendaratkan panas di punggungnya.” Pikirnya.
“Tidak akh, celana ana masih suci, toh memakai sarung juga bukan kewajiaban dari syariat islam, kanjeng Nabi tak pernah mencontohkannya, lagi pula, kalau antum selalu membuat kami selalu dalam tekanan, bahkan ana pun tak bisa berfikir logis dalam kegelisahan.” Tentu saja ia mengatakannya dengan menunduk.
“Lancang sekali antum! ....Buuuk!” Sajadah terlipat itu benar mendarat di pinggangnya.
“Cepat ganti sarung dan segera kembali.. satu menit!” tekanan jilid selanjutnya.
Janggan masih melenggang santai sebelum pekikan untuk lari dari mujannib lain.
Segera kembali sebelum satu menit terlewat adalah ide yang bagus. Tak terbayang orang-orang perfeksionis ini akan menambah hukuman.
Janggan, dengan nafas memburu segera menghadap, tatapan dingin yang ia dapat. Satu gerakan tangan mengarah ke mikrofon.
“Satu juz. Cepat!”
“Tapi Akh...” ide buruk untuk menolak, tapi ia masih bersikukuh.
Tatapan lebih dingin lah yang ia dapat. Ia tak perduli.
“Kenapa justru sunnah Kanjeng Nabi yang kita dianjurkan membaca Al-Qur’an justru dijadikan sebagai objek hukuman?. “
“Satu juz setengah!” malah ini tambahan hukuman  yang diterimanya.
“Tapi akh, kenapa selalu senioritas mem.. “
“Tak usah mendebat!. Dua juz!, tanpa komplain!” bentak Sumarito.
Janggan sadar melanjutkan ketidak puasannya, lagi-lagi hanya akan menambah hukumannya. Ya, membaca Al-Qur’an sebagai hukuman. Buruk.
Matahari berlabuh dipusara lengkung langit barat; Janggan baru separuh perjalanan. Sisanya akan ia bayar maghrib selanjutnya, karena setelah dzikir ba’da shalat ia segera menemui musyrifnya12, wali kelasnya di asrama yang seperti biasa menyampaikan pelajaran tahsin, tafsir, atau qiro’ah saja. Terkadang juga diselingi dengan mukhadatsah, percakapan dengan bahasa arab atau inggris.
Namun toh semua tidak selalu sama seperti sebelumnya, malam itu tidak ada pelajaran maghrib baginya seorang, Ustad Sukmono, musyrifnya memintanya segera menemui pamong asrama. Ustad Isra’, pria dengan gelar “Cubitan maut” yang tak lain adalah bagian Kedisiplinan Siswa yang berurusan dengannya siang tadi, jadilah dipikirannya mungkin kelanjutan masalah tadi siang. Tapi masak iya hanya gara-gara pesawat-pesawatan itu ia harus menerima cobaan selanjutnya, lututnya sudah lemas tak bersendi. Kalaupun harus berurusan dengan yang begitu-begitu, ia pilih mundur.
Ia mengucap salam, mengetuk pintu ruang tengah rumah beliau yang hanya dipisah tembok tipis dengan mushola, yang memanggil sudah duduk di kursi panjang dari kayu di sudut ruangan. Menyisakan tempat kosong di sampingnya, tangan dinginnya menepuk-nepuk pelan badan kursi, meminta Janggan untuk duduk di sampingnya. Pria Padang ini terlihat menahan sesuatu, bukan marah kali ini, Janggan menerjemahkannya lebih pada, “ia sedang kesulitan berkata-kata”, sepertinya hendak memilah kata demi kata untuk di lompatkan dari bibir hitamnya. Janggan mencium tangannya.
“Janggan,..” kali ini parau. Ia menyentuh punggungku.
“Nenek sakit keras. Kau diminta segera pulang. Ini tiket kereta berangkatlah pagi-pagi ke stasiun, teman ustad sudah menunggu disana. Segera berkemas, dan jangan lupa berpamitan pada teman-teman kau.” Logatnya akrab di telinga, agaknya ustad sadar betul ada kemungkinan aku tak akan kembali lagi.
Syukron Us, terima kasih.” Janggan membungkuk segera tau kalau percakapan  telah usai dan waktunya sudah tiba. Ia meraih pintu.
“Sebentar. Kemari nak..” ia menggapai lengan Janggan memasukkan amplop ke telapak tangan Janggan. Segera dilanjut dengan kalimat sakti yang tak kan pernah ia lupakan.
“Untuk perjalanan, terimalah. Kembalilah kemari.”
Janggan mengangguk pelan. Mulai melangkah.
“Sabar. Jangan pernah menangis. Bukakah nenek pernah bilang begitu?”
Belum selesai Janggan menutup pintu dari luar, Janggan sudah sesenggukan. Ia ingat betul itu kata-kata dalam surat pertama dari neneknya, karena tak bisa mengantar ke pondok di kota tua ini, dan ustad telah membacanya.
Janggan berlari diatas kaki kecilnya menyusuri lorong dan beranda asrama. Suara lantai tua membahana memenuhi langit-langit teras, memancing perhatian santri lainnya di sebrang lapangan. Sama. Mereka belajar.
Sudah subuh dan sudah berpamitan pada semua. Ia bergegas meluncur ke stasiun dengan minibus, neneknya mungkin sudah tak punya waktu untuk menunggunya. Kabarnya sudah berkali-kali menyebut-nyebut namanya. Dua hari, tidak kurang bahkan bisa lebih perjalanannya. Bisa jadi perjalanan jauhnya yang terakhir. Janggan coba menikmati jalan-jalan di kota tua ini dengan seksama dari jendela bus.
Benar, kereta berangkat pagi sekali. Seperti biasa, kereta selalu ramai penuh sesak. Dan sepanjang jalan, yang ada dalam pikirnya hanya dua hal, neneknya, dan lagi-lagi, pesawatnya. bagaimana mungkin beda kecepatan angin diatas dan di bawah sayapnya bisa menaik dan turunkan pesawat lewat tekanan?, bahkan membuatnya mengambang, diam di antara awan-awan. Itu lagi. Ah, toh dia belum pernah naik pewawat betulan. Belum bisa menghayati cukup dengan pesawat kertasnya. Sesekali juga ia membayangkan terbang naik pesawat menjemput neneknya, pasti akan lebih cepat. Hanya satu atau dua jam saja. Ia tak perduli dengan jalannya kereta, entah membelah bukit, menembus terowongan atau melintasi persawahan. Baginya tidak keren, kagumnya hanya pada pesawat, kereta mengular ini tak lebih dari cerita teknologi abad 19, revolusi industri yang telat diadopsi ke bangsanya. Walaupun semilir angin kencang menerpa wajahnya, toh tak pernah mendinginkan kepalanya dari semua tanda tanya. Malah suara gesekan rel dengan roda besi kereta dengan frekuensi tinggi mengganggu dengan gelombang suara tertentu. Empat jam setelah ini, ia akan naik kapal, memotong selat. Di genggamnya buku cerita Wright bersaudara. Lusuh. Kusut masai. Sudah tak terhitung berapa kali ia membacanya.           
Dan deru kereta menguapkan senja. Matanya belum sempat terpejam bahkan ketika lelahnya telah berkumpul di bawah pelupuk mata. Berdiri di depan gapura kampungnya. Berhari-hari terombang-ambing ombak membuatnya sedikit oleng. Terlihat dari sudut tikungan perempatan, rumah neneknya, satu-satunya yang terlihat layaknya bangunan di keliling kuburan yang mulai rapat ujung kampung.
Sepi sudah. Hanya bersisa tenda dan beberapa sanak saudara dari Paman dan Bibi  jauh.
Janggan segera berlari di tengah olengnya, dua kardus tanggung dan ransel di punggung tak ia hiraukan. Memuaskan pertanyaan “ada apa gerangan yang terjadi?” adalah alasan satu-satunya yang paling tepat .
Bibi berlari kearahnya dan memeluknya erat. Erat sekali.
“Nenek telah pergi sehari yang lalu, Wawak13 dan keluarga tak mungkin harus menunggu abang kembali.”
Janggan melepas pelukan bibi pelan, lari bak dikejar beruk, menyongsong kebelakang, mencari tanah baru menggunduk.
Ketemu. Ia bersimpuh di depan pusara wanita satu-satunya yang membesarkan ia, yang kini telah pergi.
Ia berdiri diatas lutut, memeluk nisan.
“Nek, Janggan gak nangis kok nek.” Ia menyeka matanya. Remuk sudah hatinya.
“Janggan bahkan belum mandi, belum tidur juga tau nek, kok nenek malah pergi duluan..”
Ia membalikkan badan, bersungut-sungut menahan air matanya yang kian deras. Menghirup lagi lendir ingusnya, segera balik badan lagi.
“Lagian Janggan udah tau kok nek, kenapa kata nenek kalau Janggan mau terbang, Janggan harus jadi bagian dari angin.”
“Nih, pesawat-pesawatan Janggan yang ngasih tau semua.”
“Coba saja Janggan pulang naik pesawat, pasti janggan bisa datang lebih awal. Nenek pasti suka kan janggan pulang, jadi nenek nggak sedih lagi, nggak sakit lagi.”
“Janggan salah apa sih nek, Janggan tau Janggan ngeyelan, Janggan sering dihukum, tapi kan.. “ Janggan terdiam lama.
“Nek, maafin Janggan ya nek, nenek mau kan maafin Janggan?.”    
Kali ini sudah tak bisa ia tahan. Ia memeluk pusara neneknya mendekapnya penuh kasih, meringkuk dibawah senja yang mulai melengkungkan bianglala.                





Bandarlampung, 1 Maret 2012
Fauzisar El-Lambunjiy






foot note :
1. Maaf, dalam bahasa arab.
2. Saya, dalam bahasa arab.
3. Anakku, dalam bahasa arab.
4. Kamu (halus), dalam bahasa arab.
5. Menerima, , dalam bahasa jawa.
6. Prinsip Bernoulli adalah sebuah istilah di dalam mekanika fluida yang menyatakan bahwa pada suatu aliran fluida, peningkatan pada kecepatan fluida akan menimbulkan penurunan tekanan pada aliran tersebut. Prinsip ini sebenarnya merupakan penyederhanaan dari Persamaan Bernoulli yang menyatakan bahwa jumlah energi pada suatu titik di dalam suatu aliran tertutup sama besarnya dengan jumlah energi di titik lain pada jalur aliran yang sama. Prinsip ini diambil dari nama ilmuwan Belanda/Swiss yang bernama Daniel Bernoulli.
7. Menghafalah Al-qur'an.
8. Satu.. dua,.. tiga, dalam bahasa arab.
9. Sembilan.. dan terakhir, sepuluh, dalam bahasa arab.
10. Kakak tua/ kakak tingkat, dalam bahasa arab.
11. Pendamping dalam satu kamar dalam sebuah asrama, bertanggung jawab atas adik-adiknya dalam satu lingkup kamar.
12. Wali kelas di luar sekolah, bertanggung jawab atas anak didiknya dalam satu kelas di asrama.
13. Bibi, dalam bahasa Lampung.




Visitors

BUKU TAMU

Pop up my Cbox
Powered by Blogger.

Followers