Friday, December 23, 2011

CERPEN HARI IBU


Sepeda Roda Tiga

Senja mununduk keemasan, entah bagaimana kata kata ini sungguh sangat kelu untuk diucap, indah tapi penuh paradoks, terbelenggu dengan kenikmaatan yang tampak, sedangkan sisanya, hanya luka.
Malam mulai menjelang ketika bayang bayang nisan mulai jatuh diatas pelataran pemakaman pejuang katulistiwa, diatas altar-Panggung penghormatan di bagian selatan rapat teratur gundukan-gundukan rendah yang berbaris rapi. Ah, mereka ini, baik hidup atau sudah mati, selalu menjadi sesuatu yang mengesankan. Dulu pagar betis perjuangan sekarang sudah luntur dikalang tanah. Tapi aura dan kesakralan masih membujur membelah udara malam diatas makam ini, pepohonan minim, hanya di sisi-sisinya, sedangkan sisanya? Macam lapangan upacara saja. Gersang. Kecuali dengan hijau meletup-letup sisa perjuangan mereka yang terbawa ke liang lahat.
Aku memeluk ibu dalam tidur malam yang dingin itu, dibawah gubuk disudut makam. Dalam kamus kota berteluk ini, kosa kata ibu menjadi suatu hal yang langka, aneh bahkan, apalagi mengingat apa yang selama ini dunia dan aku lakukan dalam percumbuan takdir, aku dan ibu adalah dua manusia yang terlihat hidup atau terkesan terpaksa hidup diantara pusara-pusara dingin itu, hiduppun enggan namun mati menjadi pantangan. Tapi hal itu tidak pada ibu, sejak tiga belas tahun yang lalu mengandungku tanpa seorangpun sentuhan lelaki , bapakku dibui, lama menjadi preman dan hampir mati dikroyok manusia se-pasar. Kalaupun ada sentuhan maka tidak lain oleh tiga preman malam itu, cerita yang justru tidak pernah diceritakan ibu, belakangan ini aku mengorek informasi dari sesepuh kompleks. Yang sampai sekarang menjadi dendam tersendiri jauh di kubangan hatiku. Malam itu gerimis dan gelap. Ya, betul betul gelap.
Sepulang menjenguk ayah dibui yang justru sekarang dia melenggang entah kemana, ibu dan aku yang masih dalam perut buncitnya diburu segerombolan preman setelah turun dari bis, terminal begitu lengang malam itu, tak ayal ibu terpaksa melarikan diri hingga akhirnya singgah diselamatkan nisan-nisan pahlawan itu. Masuk menyelinap lewat sisi tembok dan masuk kedalamnya.
Tapi urusan tidak selesai sampai disitu kawan, ibu yang sudah sebatangkara sejak lahir harus menanggung berkilometer sisa perjalanan cerita hidupnya selanjutnya. Melahirkan aku.
***
Ibu marah besar sore  ini. Gawat binti kacau. Entah bagaimana ibu bisa tau sudah seminggu ini aku ngamen. Berbekal tutup botol seng yang kupipihkan, aku melenggang dari lampu merah ke lampu merah bahkan sampai menyambangi kampus disudut kota. Demi sepeda roda tiga yang kulihat di bariskan di salah satu toko sudut pasar dan selama itu aku idamkan.
“Nak, Ibu kan sudah bilang, adek gak usah ikut kerja, cukup ibu saja yang kerja”
Aku memeluk lulut. Disudutkan di ujung ranjang oleh rasa bersalah kanak-kanakku ini.
“Adek sekolah aja yang pinter, gak usah mikir biaya.” ibu mulai angkat bicara setelah mereda. Meninggalkan PR mencuci dari rumah-rumah tetangga.
“Bah, bagaimana aku tidak memikirkan biaya, sebagai seorang lelaki yang entah dari siapa di ajari soal harga diri seorang lelaki, aku tidak bisa tinggal diam, apalagi dengan cita-cita mengayuh sepeda roda tiga. Idamanku.” Pikirku.
Terkadang terasa aneh hidup bertetangga dengan lingkungan kota sepadat ini. Rumah kami adalah makam pahlawan ini yang mengkilap dengan cat tembok yang baru ketika Agustus menjelang. Atau ketika malam hari, makam yang semerbak bunga akan membumbung ke angkasa, bertahan hingga besok pagi ketika nyamuk-nyamuk kembali bertamu ke gubuk kami. Menemukan kami yang sepertinya  terseog-seog diantara puing-puing etalase megah yang kian membuat sesak pemandangan kota berteluk ini.
Aku kembali ke jalan. Entahlah. Bayangan sepeda roda tiga itu kukayuh di antara jalan-jalan kecil makam kembali membayang. Aku, bandel. Kembali turun ke jalan demi sepeda roda tiga yang memanggil-manggil.
Waktu seolah berputar begitu mudah dalam anganku, namun tidak sederhana itu, aku melenggang menjemput sepeda roda tiga itu dalam semak ilalang sukmaku jauh dari pikiran bahwa hal yang kulakukan akan berbuah pahit.
Dunia terasa begitu kejam se-jam yang akan datang detik-detik perubahan kenikmatan begitu cepat nian berlalu. Antara detik ke detik perubahan itu hampir tidak pernah ada jeda yang sempat aku gunakan untuk menyesalinya. Lampu Hijau sudah berganti kuning, kemudian merah dan masih ada mobil yang memaksakan melintasi halauan lampu merah. Aku masih sibuk me nggemerincngkan tutup botol seng itu dalam syair lagu.
Aku ambruk bersama kaki-kaki mungilku. Dingin. Hanya dingin, betul-betul tak terasa. Beberapa menit kemudian orang-orang di sekeliling perempatan jalan berkerumun menontonku. Sudah macam layar tancap saja.
***
Tak lama, lampu terlampau terang membangunkanku dari mimpi burukku, namun mimpi itu demikian meyakinkanku. Terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi. Kaki kananku meninggalkan pangkalnya, pergi sudah mengacuhkanku. Dokter yang bukan Tuhan tak sanggup menyelamatkan kaki ini. Aku hanya meringis dalam sesal untuk kesekian kalinya melihat bayang-bayang ibu yang tersesat dalam pandanganku. Melihatnya menangis adalah suatu dosa besar yang mengiris iris hati ini. Tatapannya nanar sasar di kakiku. Sesegukan menahan semuanya keluar, namun sia-sia. Ia tak sanggup menahannya.
Pandangan ku masih terlalu kabur ketika seminggu kemudian sudah kembali menapak rumah tercinta. Pemakaman terhormat yang bahkan sedikit orang yang hanya boleh berkunjung. Sepeda roda tiga entah turun dari langit keberapa sudah berdiri di depan ruang kamarku. dan aku hanya terdiam terduduk diatas dipan yang menggantungkan sebelah kakiku yang hilang. Merenungkan kembali begitu cepatnya semua ini terjadi. 
Besoknya, sepedah roda tiga itu yang bergantian meninggalkanku. Untuk membayar begitu banyak biaya rumah sakit yang bahkan menghabiskan simpanan emas dan seluruh perabotan rumah yang sama sekali tidak bisa dikatakan mewah. Semuanya dijual untuk menutup biaya rumah sakit.
Aku lari memeluk ibu, sekali lagi meyakinkan apakah yang susah payah diperjuangkan ibu lewat kerja yang semakin dinaikkan intensitasnya, sepeda yang selama ini menghias mimpi ku--sekaligus menghancurkan mimpi dan kaki kananku. Sorot mata ibu terlalu tajam. Aku tidak sempat menerjemahkannya dalam bentuk lain. Ibu sudah melenggang melangkahi gerbang makam. Hatiku sakit tak terdefinisikan. Entah bagaimana rasanya ingin melepas semua tongkat pembantu berjalanku ini dan kemudian berlari mengejar ibu. Tapi rasa bersalahku menghentikanku.
Sejak saat itu aku berjanji. Apapun yang ditanyakan guruku kelak tentang pahlawan, maka akan kupastikan aku adalah orang yang pertama mengangkat tangan dan berteriak lantang.
“Pak guru! Pahlawan yang paling hebat dalam hidup saya hari ini dan esok hanyalah ibu saya!”
Aku tidak akan menentang dan mengacuhkan pintanya, menyayangnya sebagaimana ia menyayangku sewaktu kecil. Bersumpah dengan saksi nisan-nisan dingin ini demi menebus dosa ini pada ibu. Sungguh jika hal ini tidak kulakukan, aku adalah orang yang paling merugi hari itu.

Fauzisar El-Lambunjiy (Ave Suakanila Fauzisar, P. Biologi 2011 A)
20 Desember 2011


Visitors

BUKU TAMU

Pop up my Cbox
Powered by Blogger.

Followers