Sepeda
Roda Tiga
Senja
mununduk keemasan, entah bagaimana kata kata ini sungguh sangat kelu untuk
diucap, indah tapi penuh paradoks, terbelenggu dengan kenikmaatan yang tampak,
sedangkan sisanya, hanya luka.
Malam
mulai menjelang ketika bayang bayang nisan mulai jatuh diatas pelataran
pemakaman pejuang katulistiwa, diatas altar-Panggung penghormatan di bagian
selatan rapat teratur gundukan-gundukan rendah yang berbaris rapi. Ah, mereka
ini, baik hidup atau sudah mati, selalu menjadi sesuatu yang mengesankan. Dulu
pagar betis perjuangan sekarang sudah luntur dikalang tanah. Tapi aura dan
kesakralan masih membujur membelah udara malam diatas makam ini, pepohonan
minim, hanya di sisi-sisinya, sedangkan sisanya? Macam lapangan upacara saja.
Gersang. Kecuali dengan hijau meletup-letup sisa perjuangan mereka yang terbawa
ke liang lahat.
Aku
memeluk ibu dalam tidur malam yang dingin itu, dibawah gubuk disudut makam. Dalam
kamus kota berteluk ini, kosa kata ibu menjadi suatu hal yang langka, aneh
bahkan, apalagi mengingat apa yang selama ini dunia dan aku lakukan dalam
percumbuan takdir, aku dan ibu adalah dua manusia yang terlihat hidup atau
terkesan terpaksa hidup diantara pusara-pusara dingin itu, hiduppun enggan namun
mati menjadi pantangan. Tapi hal itu tidak pada ibu, sejak tiga belas tahun
yang lalu mengandungku tanpa seorangpun sentuhan lelaki , bapakku dibui, lama
menjadi preman dan hampir mati dikroyok manusia se-pasar. Kalaupun ada sentuhan
maka tidak lain oleh tiga preman malam itu, cerita yang justru tidak pernah
diceritakan ibu, belakangan ini aku mengorek informasi dari sesepuh kompleks.
Yang sampai sekarang menjadi dendam tersendiri jauh di kubangan hatiku. Malam
itu gerimis dan gelap. Ya, betul betul gelap.
Sepulang
menjenguk ayah dibui yang justru sekarang dia melenggang entah kemana, ibu dan
aku yang masih dalam perut buncitnya diburu segerombolan preman setelah turun
dari bis, terminal begitu lengang malam itu, tak ayal ibu terpaksa melarikan
diri hingga akhirnya singgah diselamatkan nisan-nisan pahlawan itu. Masuk
menyelinap lewat sisi tembok dan masuk kedalamnya.
Tapi
urusan tidak selesai sampai disitu kawan, ibu yang sudah sebatangkara sejak
lahir harus menanggung berkilometer sisa perjalanan cerita hidupnya
selanjutnya. Melahirkan aku.
***
Ibu
marah besar sore ini. Gawat binti kacau.
Entah bagaimana ibu bisa tau sudah seminggu ini aku ngamen. Berbekal tutup
botol seng yang kupipihkan, aku melenggang dari lampu merah ke lampu merah
bahkan sampai menyambangi kampus disudut kota. Demi sepeda roda tiga yang
kulihat di bariskan di salah satu toko sudut pasar dan selama itu aku idamkan.
“Nak,
Ibu kan sudah bilang, adek gak usah ikut kerja, cukup ibu saja yang kerja”
Aku
memeluk lulut. Disudutkan di ujung ranjang oleh rasa bersalah kanak-kanakku
ini.
“Adek
sekolah aja yang pinter, gak usah mikir biaya.” ibu mulai angkat bicara setelah
mereda. Meninggalkan PR mencuci dari rumah-rumah tetangga.
“Bah,
bagaimana aku tidak memikirkan biaya, sebagai seorang lelaki yang entah dari
siapa di ajari soal harga diri seorang lelaki, aku tidak bisa tinggal diam,
apalagi dengan cita-cita mengayuh sepeda roda tiga. Idamanku.” Pikirku.
Terkadang
terasa aneh hidup bertetangga dengan lingkungan kota sepadat ini. Rumah kami
adalah makam pahlawan ini yang mengkilap dengan cat tembok yang baru ketika
Agustus menjelang. Atau ketika malam hari, makam yang semerbak bunga akan
membumbung ke angkasa, bertahan hingga besok pagi ketika nyamuk-nyamuk kembali
bertamu ke gubuk kami. Menemukan kami yang sepertinya terseog-seog diantara puing-puing etalase
megah yang kian membuat sesak pemandangan kota berteluk ini.
Aku
kembali ke jalan. Entahlah. Bayangan sepeda roda tiga itu kukayuh di antara
jalan-jalan kecil makam kembali membayang. Aku, bandel. Kembali turun ke jalan
demi sepeda roda tiga yang memanggil-manggil.
Waktu
seolah berputar begitu mudah dalam anganku, namun tidak sederhana itu, aku
melenggang menjemput sepeda roda tiga itu dalam semak ilalang sukmaku jauh dari
pikiran bahwa hal yang kulakukan akan berbuah pahit.
Dunia
terasa begitu kejam se-jam yang akan datang detik-detik perubahan kenikmatan
begitu cepat nian berlalu. Antara detik ke detik perubahan itu hampir tidak
pernah ada jeda yang sempat aku gunakan untuk menyesalinya. Lampu Hijau sudah
berganti kuning, kemudian merah dan masih ada mobil yang memaksakan melintasi
halauan lampu merah. Aku masih sibuk me nggemerincngkan tutup botol seng itu
dalam syair lagu.
Aku
ambruk bersama kaki-kaki mungilku. Dingin. Hanya dingin, betul-betul tak
terasa. Beberapa menit kemudian orang-orang di sekeliling perempatan jalan
berkerumun menontonku. Sudah macam layar tancap saja.
***
Tak
lama, lampu terlampau terang membangunkanku dari mimpi burukku, namun mimpi itu
demikian meyakinkanku. Terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi. Kaki
kananku meninggalkan pangkalnya, pergi sudah mengacuhkanku. Dokter yang bukan Tuhan
tak sanggup menyelamatkan kaki ini. Aku hanya meringis dalam sesal untuk
kesekian kalinya melihat bayang-bayang ibu yang tersesat dalam pandanganku.
Melihatnya menangis adalah suatu dosa besar yang mengiris iris hati ini.
Tatapannya nanar sasar di kakiku. Sesegukan menahan semuanya keluar, namun
sia-sia. Ia tak sanggup menahannya.
Pandangan
ku masih terlalu kabur ketika seminggu kemudian sudah kembali menapak rumah
tercinta. Pemakaman terhormat yang bahkan sedikit orang yang hanya boleh
berkunjung. Sepeda roda tiga entah turun dari langit keberapa sudah berdiri di
depan ruang kamarku. dan aku hanya terdiam terduduk diatas dipan yang
menggantungkan sebelah kakiku yang hilang. Merenungkan kembali begitu cepatnya
semua ini terjadi.
Besoknya,
sepedah roda tiga itu yang bergantian meninggalkanku. Untuk membayar begitu
banyak biaya rumah sakit yang bahkan menghabiskan simpanan emas dan seluruh
perabotan rumah yang sama sekali tidak bisa dikatakan mewah. Semuanya dijual
untuk menutup biaya rumah sakit.
Aku
lari memeluk ibu, sekali lagi meyakinkan apakah yang susah payah diperjuangkan
ibu lewat kerja yang semakin dinaikkan intensitasnya, sepeda yang selama ini
menghias mimpi ku--sekaligus menghancurkan mimpi dan kaki kananku. Sorot mata
ibu terlalu tajam. Aku tidak sempat menerjemahkannya dalam bentuk lain. Ibu
sudah melenggang melangkahi gerbang makam. Hatiku sakit tak terdefinisikan.
Entah bagaimana rasanya ingin melepas semua tongkat pembantu berjalanku ini dan
kemudian berlari mengejar ibu. Tapi rasa bersalahku menghentikanku.
Sejak
saat itu aku berjanji. Apapun yang ditanyakan guruku kelak tentang pahlawan,
maka akan kupastikan aku adalah orang yang pertama mengangkat tangan dan
berteriak lantang.
“Pak
guru! Pahlawan yang paling hebat dalam hidup saya hari ini dan esok hanyalah
ibu saya!”
Aku
tidak akan menentang dan mengacuhkan pintanya, menyayangnya sebagaimana ia
menyayangku sewaktu kecil. Bersumpah dengan saksi nisan-nisan dingin ini demi
menebus dosa ini pada ibu. Sungguh jika hal ini tidak kulakukan, aku adalah
orang yang paling merugi hari itu.
Fauzisar El-Lambunjiy
(Ave Suakanila Fauzisar, P. Biologi 2011 A)
20
Desember 2011