Kubangan II
Genggamlah dunia adik-adikku!
Saya terakhir kemaren ngajar TPA ya, Taman Pendidikan Al-Quran
bagi yang belom tau, ini TPA kabarnya adalah TPA paling Buandel anak-anaknya se
provinsi, kabarnya si belum ada kompetisi tingkat nasional untuk TPA yang
anak-anaknya paling bandel. Tapi beneran, saya ngrasain sendiri. Emang gitu..
mungkin latar belakang mereka yang memangf deket terminal, dan lo tau jelas,
bahwa halaman tempat mereka bermain sehari2 adalah terminal dengan ya.. dunia
yang boleh dibilang mimpi buruk bagiu anak2 usia mereka. Satu hal yang bikin saya
salut adalah kemandirian mereka dalam berusaha. Mungkin orang tua mereka sudah
tidak ada, atau mungkin yang lebih beruntung, hanya tidak mampu memberikan
kehidupan yang lebih baik bagi mereka, tidak mampui menyekolahkan mereka, tapi
mereka masih semangat sekali untuk mengaji. Bahkan di sela2 tugas sekolahnya
yang menumpuk, mereka sempatkan untuk berjualan koran.
Akhirnya pihak masjid kampus lah yang berinisiatif membantu
mereka. Menyediakan bveasiswa bagi mereka. Dan anak2 inilah yang kibta ajar
sehari harinya. Saya (kok jadi pake kata ganti saya?), selalu berkaca-kaca
ketika mendengar dengan semangatnya mereka ketika saya tanya “apa Kabar
adik-adik?” dengan lantang mereka berteriak, “ Alhamdulillah, luar biasa!
Sukses akhirat!, genggam dunia!, Allahu Akbar!”.
Rasanya beruntung sekali hati ini mendengar semangat mereka,
beruntung sekali mendapat kesempatan mengajar adik-adikku yang bandel ini.
Walaupun seharusnya sesuai panggilan mereka, abi, saya harus menjadi bapak yang
mau tidak mau menyayangi mereka. Yang jelas bahwa saya sangat bersyukur melihat
anak-anak kuat seperti mereka tumbuh menggenggam dunia. Rasanya akan sulit
dibayangkan ketika nantinya semua dari mereka akan menggappai puncak dunia.
Saya belum me nemukan kata lain selain bandel untuk menyebut
predikat mereka. Luar biasa, mereka sangat susah dikendalikan. Tapi seiring
mereka mengenal wajah rupawan saya(haha), itu hanya terjadi diawalnya
saja. Sebut saja Rafli dan Aam yang
selalu menarik-narik baju saya ketika ashar sudah usai.
“Abi Ave, ayo…ngajar.” Anak anak manja ini kata saya dalam hati.
Bersyukur sekali ternyata hati mereka bisa sedikit manja.
“Ayo Bi.. main Tebak Benda lagi”. Pekik yang satunya, Aam dengan
suara parau.
“Lho, kemarin kan abi udah ngajar, Abi yang lain geh yang nantiu
masuk kelas.” Saya berusaha menggoda mereka.
“Aaaah, pokoknya abi Ave, kalu gak, gak mau ngaji.” Yang lain ikut
menimpali.
“Ee… ngancam abi nih ceritanya?, oke,.. Victor boleh gak ngaji,
tapi pas permainan bareng abi gak boleh ikut?, gimana?”. Saya balik menguji mau
mereka.
“iya deh bi.. tapi janji lho besok kita main di lapangan lagi!? “
“ iya Ya bi ya?, janji lho kalau gak nanti abi tak jadi gak ganteng lagi.” Yang lainnya
menimpali lagi.
Saya cekikikan sendiri setelahnya, anak-anak. Mereka begitu
jernih. Ibarat cermin, mereka akan merefleksikan dan memantulkan apa saja yang
kita hujamkan kepada mereka, mereka begitu halus, dunia mereka terkadang tak
tersentuh, kadang tertambat erat di ranting-ranting pohon, terkadang jauh
berenang di angkasa. Terkadang pula masih terkubur, enggan untuk tumbuh.
Ada satu perkataan terakhir yang menghibur saya sore itu. Saya
(balik ke saya lagi), ada huruf italic di atas, ya.. itu yang artinya saya
sudah ganteng sebelum2nya, makanya diancam oleh mereka nantinya tidak ganteng
lagi. Betul?. Yang perlu diingat adalah anak-anak terkadang sangat jujur. Dan
saya yakin mereka sangat jujur. Mereka tidak bersandiwara, sangat ekspresif,
makanya kemudian tidak pernah ada anak-anak yang posisi dimana dia akan hampir
menangis kok tiba-tiba tidak jadi gara-gara malu karena harga dirinya nanti
direndahkan. Jadi tidak ada alasan bagi anda untuk menganggap saya tidak
ganteng. Sudahlah, sudah atau belum anda melihat profil saya, yakinlah bahwa
saya benar2 bisa dipercaya dalam hal memproklamirkan diri saya sebagai Remaja
Ganteng, ya, saya masih remaja tahap akhir :D.
Sebut saja namanya Nizar, anak penjaga Kampus yang sudah
bertahun-tahun menjaga kampus, dan masih saja honorer, bahkan tidak tetap. Ini
bukan hal biasa, masalah pendidikan. Beliau diminta sekolah lagi sejenjang
SMP/SMA atau sejenisnya sebagai syarat menjadi PNS. Namun beliau tidak
berkenan, entah dengan alasan apa. Yak, nizar asyik dengan kudapan di
tangannya. Sedang anak2 lain sudah berkumpul di depan saya. Menunggu instruksi
aturan permainan dari saya, balon di kedua tangan saya, berisi air dan lainnya
terikat dengan seutas tali. Permainan “ular-ularan kosmik”, anak2 terbagi
menjadi 2 tim, tim TPA dan tim KAWULA. Saya instruksikan untuk saling berbanjar
membentuk ular yang saling memegang perut dari belakang dengan erat sehingga
tidak terlepas. Saya melempar pandang kearah Nizar, mata kita bertemu (ciee)
bukan, saya panggil untuk segera bergabung. Memang, mendidik mudah dipelajari
di buku, tapi tidak dengan prakteknya. Saya gemar membaca literatur berbau
pendidikan. Dan agaknya ekspektasi saya berlebihan dalam hal tertentu yang
terkadang membuat saya “memaksakan” sesuatu yang belum bisa diterima oleh anak
didik saya ini. Saya berikan pengertian lebih pada nizar, saya ampuni sejenak
sikap clele’an (semau-mau) nya dia,
saya ingatkan, dalam permainan saya, saya yang “berkuasa”, jadi dia harus ikut
aturan saya, karena tadinya dia tidak mau ikut, oke, akhirnya dia ikut, namun
setelah permainan dimulai, semua berjalan dengan baik hanya kepala yang boleh
mengancurkan balon di ekor ular lawan. Pertandingan berlangsung heboh dan heran
dibuatnya saya oleh nizar, dia dengan (sepertinya) sengaja, melepas tangannya
dariu perut teman depannya yang berakibat ular (kelompoknya) putus, artinya timnya
kalah, untuk ke 4 kalinya, hingga teman2nya sebal dan mengeluarkannya sejak di
kejadian ke 3. Dan setiap kali itu juga ia mengajak berkelahi temannya, bahkan
berbuat kasar pada teman yang membuat kesalahan kecil. Pikir saya; anak ini
tidak tahu diri.
Akhirnya nizar si gendut meminta waktu istirahat, terlihat muka
sebal menggantung di wajahnya. Saya dekati, saya tanya apa maunya. Ternyata
tidak ada jawaban. Saya bahkan dibuat jengkel oleh sikapnya.
Permainan berlanjut dan waktu istirahat yang saya berikan kepada
nizar habisa saya tanya lagi sudah siap atau belum, dia menggeleng. Ternyata
akhirnya dia bilang tidak bisa bermain, saya motivasi dia, tidak ada perubahan.
Kemudian justru dia mengabaikan kami dan bermain skate board saya.
Saya amankan.
“sudah selesai istirahatnya nizar?, kok malah maen skateboard
Abi?”
“belum Bi?” ketus sekali sambil meraih sakteboard di tangan saya.
“eits, kamu boleh main kalau ikut aturan Abi, ini kan game Abi?”
“iya itu bi, nizar seenaknya saja, kemarin diajak ngaji tidak mau,
diajak permainan juga mengacau.” Anak-anak yang lain sudah resah sejak tadi.
“oke nizar, lihat abi. Kamu kalau tidak mau ikut, boleh pulang
asal, besok tidak usah ikut permainan abi”.
Hanya diam yang saya dapat. Wajah dan sekujur tubuhnya penuh keringat,
besar-besar.